Bunga Nikita Saragih (tengah) bersama ibunya (kiri) saat mendapat kunjungan dari Guru Bimbingan Penyuluhan SMK Sultan Iskandar Muda, Masita, di rumahnya, Kelurahan Kampung Lalang
Tak ada gempa bumi di Medan siang itu, 24 Juni 2022, namun getaran di ruang tamu rumah berukuran 5x4 meter itu sangat dirasakan orang-orang yang sedang berbincang di ruangan itu. Goncangan itu reda seiring berlalunya suara gemuruh akibat bertemunya roda-roda besi yang membawa sejumlah gerbong kereta api dengan rel besi yang melesat menuju ke arah Binjai.
"Seperti ada gempa saja," ujar Masita (32), setengah gugup. Sementara Bunga Nikita Saragih (16) dan ibunya R. Boru Siregar hanya tersenyum simpul, 2 orang adik perempuan Bunga yang berusia 3 dan 4 tahun, bahkan tetap asyik berlari-lari di ruangan tamu merangkap kamar tidur itu. Kedua balita itu seolah sama sekali tak terganggu oleh getaran dan suara gemuruh kereta api yang memekakkan telinga itu.
Padahal jarak rumah itu dengan rel kereta api itu hanya 3-4 langkah kaki atau sekitar 1,5 meter. Rumah orangtua Bunga memang menempati lahan milik PT Kereta Api dan persis berada di pinggir rel kereta api dekat Pajak (pasar) Kampung Lalang.
Hari itu, Bunga tengah mendapat kunjungan Masita, guru mata pelajaran Akuntansi di SMK Sultan Iskandar Muda, Medan Sunggal. Masita juga merangkap guru Bimbingan dan Konseling. Bunga adalah salah seorang siswa kelas XI Jurusan Akuntansi di sekolah tersebut. Program kunjungan ke siswa rutin dilakukan Masita 2-3 kali seminggu terutama setelah masa pandemi Covid-19.
"Kita cari tahu masalah yang dihadapi siswa dan orangtua siswa," ujar Masita.
Menurut Kepala SMK Sultan Iskandar Muda, Ely Sorta, mayoritas siswa di sekolahnya berstatus sebagai siswa Program Anak Asuh yayasan. Meski sudah bebas uang sekolah, tak berati mereka bebas dari lilitan ekonomi lain. Maklum orangtua mereka bisa dibilang tergolong warga miskin kota.
Saat terjadi pandemi Covid-19, beban ekonomi mereka makin bertambah berat. Saat awal-awal diberlakukan Sistem Pembelajaran Jarak Jauh (SPJJ), tak semua siswa mengikuti. Setelah dilakukan observasi, ditemukan data cukup mengejutkan.
Ditemukan ada sebanyak 17 siswa yang tak punya ponsel, sebanyak tujuh siswa harus pinjam ponsel ke teman atau tetangga agar bisa mengikuti SPJJ. Lalu sebanyak 91 siswa kesulitan membeli kuota internet.
"Bunga salah satu siswa kami yang tak punya handphone, jadi selama pembelajaran daring, ia harus ambil materi ke sekolah. Untuk penyelesaian (menyelesaikan) tugas kami yang mengambil ke rumahnya," tutur Masita. Kunjungan ke siswa juga sekaligus dimanfaatkan untuk memberi motivasi juga bimbingan.
Jaga Anak dan Cuci Baju
Karena Bunga tak punya ponsel, Masita terpaksa menelpon ke tetangga Bunga untuk membuat janji.
"Soalnya mulai pukul 3-12 siang, saya kerja jaga anak di rumah tetangga," tutur Bunga. Ayahnya, sudah sejak pukul delapan malam pergi Pasar Kampung Lalang. Bersama beberapa temannya, mereka menunggu truk pengangkut ikan laut sampai siang hari.
Truk-truk itu datang bergiliran dari Belawan, Aceh, Sibolga maupun Tanjung Balai. Ayahnya memang kuli bongkar muat ikan. Namun akibat cedera di punggung yang dideritanya, kerjanya hanya mendorong galon ikan ke lapak-lapak pedagang. Ia dibayar Rp 70.000 untuk dua hari kerja.
Ibunya sejak pagi juga sudah kerja cuci setrika di tempat lain. Di rumah tinggal empat orang adiknya. Satu tak sekolah, satu orang kelas VI SD, dan dua orang masih balita. Bunga sendiri mendapat upah Rp 20.000 per hari. Di tengah keterbatasan ekonomi, sulung dari lima bersaudara itu tak mau menyerah berjuang.
Sebagian upah itu ia kumpulkan untuk beli baju seragam sekolah, untuk ongkos transportasi ke sekolah dan uang jajan adiknya. Sebagian ia sisihkan ke celengan. Dalam setengah tahun ini, ia sudah mengumpulkan sekitar Rp 500.000.
"Mau untuk beli ponsel?"
Ditanya begitu, Bunga tersenyum simpul.
"Masih kurang...," katanya.
Ingin Bisnis Rumah Makan
Menurut Masita, Bunga tergolong siswa bermental baja. Ia tak segan melakoni kerja apa saja untuk membantu meringankan beban ekonomi orangtuanya. Sebelum pandemi, ia juga pernah berjualan roti bakar ke sekolah. Pernah juga bantu jualan bakso goreng milik temannya.
"Saat ada toke durian jualan di pinggir jalan, ia juga tak malu-malu bantu mengikat durian yang sudah masak," tutur ibunya.
Setamat sekolah, Bunga bercita-cita ingin buka usaha rumah makan. Selama ini ia sudah berkali memasak variasi ikan laut yang dibawa ayahnya dari pasar. Ikan pemberian para pedagang. Bersama ibunya, ia juga kerap diupah tetangga mereka yang Kristen untuk menyiapkan makan makan malam pada kegiatan partangiangan (ibadah rumah tangga).
Semua itu menurut Bunga, merupakan modal sebelum kelak terjun berwiraswasta di bidang kuliner. Lalu darimana modalnya?
"Saya rencana kerja dulu, dari situ nanti gaji saya sebagian ditabung," katanya.
Begitulah meski dihimpit berbagai keterbatasan, Bunga Saragih tak pernah kehilangan semangat hidupnya untuk merajut asa. Sebuah asa untuk meraih hidup yang lebih baik di masa depan.
Комментарии